Ulasan Sembilan Spasi

Berikut adalah ulasan dari Teman-teman seperjalanan….

Yudhi Widdyantoro
Pendiri Komunitas Yoga Gembira
IG @yudhi_yoga
Febriyanti Dwi Safitri
Penulis antologi kisah inspiratif & cerpen
IG @febriyanti_ds
Sintia Astarina
Blogger & Digital Creator
IG @sintiawithbooks

Buku bersama Waktu, Teman Sepanjang Jalan
oleh Yudhi Widdyantoro

Asumsi kebanyakan orang buku bagus itu perlu banyak referensi. Buku keren kalau sampulnya mentereng. Tidak jarang orang beranggapan membuat buku harus tebal dan banyak kutipan. Buku pun harus dijual mahal, walau isi buku bisa membuat otak menjadi bebal. Agar layak jual, ukuran buku harus mengikuti kaidah tertentu. Buku Sembilan Spasi jauh dari semua kesan itu.

Sampul buku karya kolaborasi Ivandeva Wing dan Siska Marsudhy terkesan minimalis baik ukuran maupun perwajahan. Lebih kecil dari dari umumnya terlihat di rak toko atau online shop. Memilih warna coklat lembut dan hanya tiga larik dengan tipografi tidak agitatif. Setelah judul, diikuti  satu kaliama anak judul: Narasi untuk Mengalami.

Anak kalimat, Narasi untuk Mengalami terasa efektif dan menjadi kunci untuk menyelami buku ini. Penulisnya memang tidak punya intensi untuk menjadikan buku ini sebagai buku motivasi dengan segala kiat sukses menjalani hidup, melainkan sebagai teman bersama dalam perjalanan kembali ke diri. Mereka berdua tidak menempatkan diri sebagai Master, Suhu, bahkan sekadar guru yang menunjukkan jalan pencerahan atau kebahagiaan karena mereka sadar bahwa semua dikembalikan ke setiap diri individu masing-masing pejalan. Bahwa semua harus ditemukan, dialami sendiri, seperti tulisnya, “Pengetahuan yang lahir dari pikiran, membesarkan hati. Kearifan yang lahir dari pengalaman, merendahkan hati”.  (V – 20).

Penulis tidak terkesan berusaha merendahkan diri, tapi pilihan kata dan kalimat yang tertuang dalam buku ini adalah refleksi dari tingginya pengetahuan yang dialami. Diksi yang terkesan seperti puisi, tapi tidak kemudian jatuh pada melankoli. Keduanya terlatih dalam duduk diam, bahkan memberi kelas pelatihan. Penulisan buku ini agaknya dimaksudkan sebagai pendamping dan pelengkap kelas. Ada keterjalianan antara kelas online, juga offline baik di studio pada murid regular, maupun untuk karyawan korporat dan di berbagai kesempatan. “Ketika kita terjalin, kian berlatih dan berserah memudarkan ego. Kerena terjalin juga melepas, namun bukan menghempas”. (IV – 2).

Bisa dikatakan buku ini bentuk tertulis praktik meditasi. Namun tidak mudah mengesampingkan kesan bahwa Siska adalah pengajar yoga. Buku ini bukan buku panduan how to atau cara melakukan kesempurnaan asana yoga. Anda yang berharap itu akan kecewa.  Lewat buku ini Ivan dan Siska membuat keterjalinan bahwa yoga dan meditasi tak bisa dipisahkan, bagai dua sisi dari satu koin uang. Isi buka bisa, bahkan perlu disertakan ketika berlatih asana yoga, pun off the mat, di luar matras, dan dalam keseharian.

Bagi praktisi meditasi dan pejalan spiritual, rangkaian kata dan kalimat buku ini seperti menyambungkan kembali ingatan pada saat praktik duduk diam dalam suatu retreat atau ajaran Master, orang-orang yang telah tercerahkan, atau kitab suci. Namun, penulisnya sangat hati-hati, bahkan terkesan menghindari menyebut dan mengutip kitab suci ataupun ajaran arif bijaksana, apapun tradisinya. “Kearifan hadir sebagai anugerah, bukan hasil buah pikir, bukan hasil ketekunan, bukan karya kerja keras, bukan kebiasaan”, kata mereka. Mereka mengajak untuk “Senantiasa jadi pemula. Agar pilihan tetap tak berhingga”, tambahnya. Pengetahuan tak jarang menghalangi pandangan pada objek secara jernih.

Dunia akademi saat ini dibuat riuh oleh debat keras antara agama, filsafat dan sains. Antara pandangan dunia yang berdasar keyakinan serta intuisi versus perlunya logika dan bukti nyata. Antara penciptaan kreasi berhadapan dengan teori evolusi. Masing-masing pengusungnya mengajukan argumentasi. Mungkin, jika saja para petarung debat membaca buku karya Ivandeva yang berlatar belakang pendidikan Teknik Fisika ITB dan Siska yang MBA, sebagai representasi sains dan berpikir metodologis, karya mereka berdua bisa mendamaikan dan  menjadi sintesa. Adalah lewat penjelasan pada bab V – 2, “Metode dan Non-Metode”. “Metode dan Non-Metode adalah paradoks. Seperti pertentangan, namun sejatinya saling melengkapi, dan perlu dijalin sekaligus, dalam Berkesadaran”. Praktik hidup berkesadaran seperti ruh buku ini, jika diikuti bisa meneteramkan hati dan terhindari dari seretan arus perdebatan. Perdebatan menjadi tidak lagi relevan, ketika batin tidak lagi menanggapi. Ketika Sadar. 

Buku ini menjadi pengingat pada siapa saja. Seperti mendaki gunung, buku ini mengingatkan para pejalan untuk tidak segera berhenti membangun tenda dan diam bermukim di tengah jalan. Pemandangan angkasa semesta dan puncak akan terhalang. Hidup dan perjalannnya perlu diarungi karena kita sebetulnya sudah Sadar, setiap kita ingat bahwa Sadar itu selalu ada setiap kita melepas apa pun yang tidak seapa-adanya. Sadar adalah kunci, tapi tanpa perlu melekat, sebagaimana juga bahagia. Agak sulit mencari kekurangan buku ini. Kalau pun ada hanya minor sifatnya, seperti di IV -4, henya kehilangan satu kata untuk “sadar” yang tertulis “sada”. Kekurangan satunya lagi, kurangnya spasi. Maksudnya, mungkin perlu diperbanyak buku seperti ini.


Untuk pengalaman seutuhnya bersama Sembilan Spasi, buku ini dapat dipesan di sini.

Penasaran akan Spasi yang menghadirkan Jeda
oleh Febriyanti Dwi Safitri

Saya tergelitik utk memiliki buku Sembilan Spasi ketika @siska00 (salah satu dari dua penulis Sembilan Spasi) memposting tentang buku ini.

Awalnya saya penasaran. Apa maksud dari blurb di paragraph pertama yang mengatakan bahwa “Sembilan Spasi merupakan buku kerja (workbook) untuk menjalani Berkesadaran-berlatih dan sekaligus berserah untuk mengalami kondisi sebagaimana apa-adanya.”

Rasa penasaran saya terjawab ketika pagi ini buku Sembilan Spasi baru saja saya terima.
Terpana pada tulisan kecil di cover buku yang diletakkan di bawah tulisan “Sembilan Spasi” yaitu “Narasi untuk Mengalami”. Tak sabar untuk segera membuka lembar demi lembarnya untuk lebih memahami buku tentang apa ini?.

Sekajap mata saya terpaku pada halaman I – 6 kala membaca tulisan “tulisaninitakterbacakarenatakberspasi”
Saya menangkap sebuah “PESAN” yang secara simbolik dapat dimaknai bahwa diri ini perlu dan penting untuk memberikan SPASI. Tubuh dan pikiran ini membutuhkan JEDA untuk rehat sejenak dalam rutinitas kehidupan yang sedang kita jalani.

Pemaknaan tentang TUBUH, PERASAAN, SIKAP, PERISTIWA, dan lain-lain DINARASIKAN dalam rentetan bait-bait yang indah.

Untuk merasakan maknanya, kita diajak untuk bermeditasi, berkontemplasi sejenak dengan mengikuti NARASI yang dituturkan.

Selanjutnya ada lembaran-lembaran kosong dalam setiap peralihan “SPASI” (BAB) yang disediakan untuk mencatat jurnal, apa saja hal yang muncul dalam benak setiap kita melihat, mendengar dan menyentuh sesuatu saat bermeditasi. Lembar jurnal kosong tersebut tak benar-benar kosong, karena disertai quotes yang ditempatkan sebagai catatan kaki (foot notes)

Tiba-tiba mata saya tertuju pada SPASI DELAPAN di halaman VIII-16 terdapat catatan kaki di lembar jurnal yang masih kosong. Tertulis beberapa kalimat
Ingin kenal diri? Sering berkarya.
Ingin lebih kenal? Rutin berbagi
Ingin kian kenal? Tanggalkan diri
Apa maknanya bagi saya? Tentu begitu mendalam.

Hari ini saya membaca buku SEMBILAN SPASI serasa tanpa “SPASI” saking penasarannya dengan buku ini secara umum.

Semoga esok saya dapat membaca perlahan untuk memaknai SPASI SATU sampai SPASI SEMBILAN, agar jurnal-jurnal tersebut tak saya kosongkan begitu saja.


Untuk pengalaman seutuhnya bersama Sembilan Spasi, buku ini dapat dipesan di sini.

Sembilan Spasi, buku yang menyelamatkanku.
oleh Sintia Astarina

Belakangan ini sibuknya nggak ketulungan. Banyak yang tau aku lagi reading slump. Sampai akhirnya aku dan Sembilan Spasi saling menemukan, lalu aku diselamatkan.

Sembilan Spasi karya Ivandeva Wing & Siska Marsudhy adalah workbook bagi siapa saja yang ingin mempraktikkan mindfulness atau berkesadaran, dalam hal sekecil apa pun di keseharian. Buku ini unik sekali. Dibuka dengan narasi yang teduh, latihan praktik berkesadaran, serta kontemplasi. Aku terbuai sekali dengan pemilihan katanya. Indah.

Ada 9 segmen di dalamnya. Dari Spasi Satu ke Spasi lainnya, sangat terasa kedalamannya. Membaca buku ini sangat pas dilakukan di waktu-waktu hening dan tenang. Kalau aku, membacanya sebelum tidur. Terasa sekali energinya mengalir.

Hal apa yang kupelajari dari buku ini?

  1. Berkesadaran adalah perjalanan panjang dan terus-menerus. Sangat bisa dipelajari setiap hari, mulanya dengan latih untuk “Sadar”.
  2. Ketika berlatih mindfulness, apa yang perlu diperhatikan? Napas, tubuh, pikiran, dan perasaan. Something that we take for granted, sometimes.
  3. Kita butuh spasi. Kita butuh jeda sebelum kembali meneruskan hidup.
  4. Dalam satu hari, ada banyak sekali waktu di mana kita menunggu, misalnya nunggu internet loading, nunggu GoFood dateng, nunggu chat dari gebetan, dan lainnya. Idle moments ini sangat bisa dimanfaatkan untuk berlatih berkesadaran.
  5. Semakin aku kenal soal konsep Berkesadaran, sepertinya aku butuh komunitas yang bisa mendukungku untuk tetap konsisten dan berlatih secara intensif. Kabar baiknya, bakal ada sesi latihan Berkesadaran bersama untuk pemula (yang infonya bisa didapat di buku ini).
  6. Sering kita mencari hal-hal baik di luar diri, padahal di dalam ada banyak yang bisa disyukuri. “Yang disesali akan menjadi beban, yang disyukuri bisa menjadi jalan.”

Selesai membaca, rasanya buku ini ingin kupeluk.


Untuk pengalaman seutuhnya bersama Sembilan Spasi, buku ini dapat dipesan di sini.